Suhu Politik Panas, Wajib Pajak Menyesal Repatriasi Harta
JAKARTA, Magazine Daily QQ - Sebagian pengusaha memutuskan tidak jadi membawa pulang hartanya ke Indonesia atau repatriasi melalui program tax amnesty.
Wakil Ketua Industri Keuangan Non Bank Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sidhi Widyapratama mengatakan, bahkan banyak di antara pengusaha yang sudah membawa hartanya ke Tanah Air menyesal telah melakukan repatriasi. Hal ini disebabkan kondisi sosiopolitik di Indonesia yang tengah berdinamika.
“Tentu sosiopolitik harus dijaga karena sangat mempengaruhi. Pengusaha banyak wait and see. Banyak yang menyesal telah repatriasi,” katanya pada sebuah seminar di Kwik Kian Gie School of Business, Jakarta, Rabu (10/5/2017).
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat, hingga batas waktu untuk merealisasikan repatriasi atau akhir Maret 2017, dana yang sudah masuk ke dalam negeri dalam rangka repatriasi senilai Rp 128,3 triliun.
Sementara itu, komitmen dana repatriasi pada program tax amnesty sebesar Rp 146,6 triliun. Dengan demikian masih ada Rp 18 triliun dana repatriasi dari wajib pajak (WP) yang telah menyampaikan, tetapi belum masuk laporan realisasi repatriasinya.
Para pengusaha kemudian berpikir ulang untuk repatriasi harta. Sebagian dari mereka memilih mengkonversi menjadi deklarasi. “Maka dari itu, ada komitmen yang cukup besar, tetapi realisasinya masih sedikit,” kata Sidhi.
Direktur Eksekutif Center of Indonesian Tax Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, minimnya repatriasi berkaitan dengan gonjang-ganjing politik di Tanah Air. Menurutnya, pada periode September hingga Desember ada sejulah pengusaha yang mengubah rencananya untuk repatriasi harta.
“Repatriasi seharusnya bisa lebih besar. Informasi dari private banker di Singapura, satu bank di Singapura kelola sekitar Rp 2.000 triliun uang WNI,” kata Yustinus.
Lanjut Yustinus, suhu panas politik juga bisa menekan investment rating Indonesia. Terlebih, apa yang terjadi di Tanah Air saat ini sudah mendapatkan perhatian kalangan internasional. Khususnya soal pasal-pasal yang sifatnya uncertain.
“Di Indonesia, orang yang punya jabatan dan power saja bisa kena ketidakpastian (dalam pasal-pasal tertentu), Bagaimana investor? Pesan ini akan mempengaruhi bisnis, repatriasi dan lain-lain akan terganggu, jelas terganggu,” ucapnya.
Ia melanjutkan, masih belum semua komitmen repatriasi dibawa pulang. Bila kondisi di dalam negeri dianggap tidak kondusif, komitmen tersebut bisa saja dibatalkan meski dengan ongkos yang lebih mahal karena kena penalti.
“Begitu dana repatriasi masuk sistem perbankan, beberapa layer sudah tidak bisa diawasi. Itu malah akan jadi pendorong melakukannya (pembatalan). Penyelesaiannya ya politik. Dan ini buruk,” katanya.
Kegagalan pemerintah menjaga kondisi politik menurut Yustinus akan berdampak pada kepercayaan. “Pajak akan terganggu apabila politik gaduh. Reformasinya mungkin akan lebih lama stepnya. Bahkan insentif yang dulunya menarik, ketika ditawarkan sekarang tidak menarik lagi,” pungkasnya.
Komentar
Posting Komentar